Senin, 18 Oktober 2021

PGP-2-Kabupaten Jeneponto - Iskandar, S.Pd.-Aksi Nyata Paket Modul 3.3 Program yang Berdapak pada Murid

A.    Rancangan Aksi Nyata 

Program Baca Tokoh Idola (Bacokola) Membangun Budaya Literasi Sejak Dini

1.     Tujuan Program:

Program ini bertujuan membangun  kesadaran, motivasi, dan budaya literasi siswa sejak dini melalui membaca biografi tokoh idola.

  1. tahapan 5 D/BAGJA

a)    Buat Pertanyaan; Bagaimanakah cara menumbuhkan budaya literasi dengan menggunakan program BacokoLa.

b)    Ambil Pelajaran; siswa yang mampu membangun motivasi dan kesadaran literasi sebagai budaya belajar akan merasakan pentingnya membaca, memperluas wawasan, dan mengikuti perkembangan.

c)    Gali Mimpi
murid memanfatkan waktu disela pembelajaran untuk membaca biografi tokoh idola, agar terbangun motivasi, mengambil pelajaran dan keteladanan dari tokoh serta kesadaran pentingnya literasi.

d)    Jabarkan Rencana; murid membaca biografi tokoh selama 5 – 10 menit dalam sepekan melalui mading yang telah disiapkan oleh guru mata pelajaran bahasa Indonesia. Setiap guru akan melakukan evaluasi hasil literasi pada setiap awal pembelajaran dengan meminta murid menyampaikan hal yang diketahui dari tokoh yang ditampilkan pekan tersebut.

e)    Atur Eksekusi; Pembina dalam kegaiatan ini adlah Kepala Sekolah dan wakil kepala sekolah. Penanggung jawab adalah guru mata pelajaran bahasa Indonesia, tim kolaborasi dan evaluasi adalah semua guru mapel. Biografi tokoh akan di tempel di dinding mading pada setiap hari senin dan evaluasi dilakukan oleh guru setiap hari selasa sampai dengan kamis. Hari Jumat dan Sabtu diskusi hasil evaluasi dengan rekan-rekan guru selanjutnya penentuan tokoh untuk pekan berikutnya.

  1. rencana Monitoring, Evaluasi, Pembelajaran, dan Pelaporan (Monitoring, Evaluation, Learning, and Reporting)

a.     Pertanyaan Kunci

Pertanyaan Kunci

 

1.     Sejauh apa program berjalan sesuai dengan tujuan program?

2.     Seperti apa hambatan yang ditemui dalam menjalankan program Bacokola?


B. Fokus Monitoring

Fokus Monitoring

Pertimbangan Pemilihan

Pertanyaan Utama Monitoring

Bagaimanakan jalannya program Bacokola dalam upaya meningkatakan kesadaran literasi dan motivasi murid?

Agar kegiatan program dapat berjalan dengan baik. Guru akan mengarahkan siswa di sela jam pembelajaran agar berkunjung ke mading sekolah.

Bagaimana respon siswa dalam mengikuti program Bacokola tersebut?

 

C. Metode Penggalian Data

Pertanyaan Monitoring

Sumber Informasi

Metode

Kapan/Bagaimana

Bagaimana respon murid saat diarahkan untuk berkunjung ke mading sekolah.

Guru dan murid

 

Melalui observasi langsung dan wawancara

Proses pelaksanaan program

D. Strategi Pengolahan Data

Pertanyaan Monitoring

Data yang terkumpul

Kesimpulan

Catatan

Khusus

Bagaimanakah pembagian peran guru dalam melakukan monitoring dan evaluasi?

Guru melakukan monitoring dan evaluasi dengan baik. Hanya saja belum semua guru terlibat aktif dalam program.

Kegiatan Bacakola berjalan dengan baik, membangun motivasi murid, dan perlu diefektikan lagi.

-        

e. Pembelajaran Program

Faktor-faktor pendukung pelaksanaan program

Faktor-Faktor Penghambat Pelaksanaan Program

 

Pembelajaran

Kolaborasi guru dalam monitoring dan evaluasi

Masih ada guru yang tidak terlibat aktif dalam program.

Masih ada siswa yang tidak peduli dengan program meskipun telah diarahkan untuk melakukan literasi

 

Refleksi:

Mengomunikasikan kepada kepala sekolah sebagai pemegang kebijakan tertinggi di sekolah dalam mengarahkanguru mendukung program.

Disediakan bahan bacaan tokoh pada beberapa titik agar tidak berdesak-desakan dan ditempel tidak hanya pada mading saja.

  1. Pelibatan orang tua dan komunitas

Orang tua dan komunitas memiliki keterlibatan dalam membimbing dan mengarahkan anak dalam upaya membangun budaya literasi. Bentuk pelibatan orang tua dalam program adalah dengan mengirimkan bahan literasi kepada orang tua sekali sepekan melalui Whatsapp Grup. Pelibatan Komunitas melalui diskusi dengan anggota komunitas tentang tokoh-tokoh yang digemari siswa di tingkat SMP.

  1. Durasi program yang berkisar selama 1 bulan.

Sebagai langkah awal selama sebulan akan disiapkan empat tokoh idola sebagai bahan literasi dan akan ditempel pada beberapa titik di lingkungan sekolah. Selanjutnya, program ini akan dilaksanakan secara terus menerus dan dilanjutkan dengan jenis bacaan lain yang menarik dan momotivasi murid dalam membaca.

 


Minggu, 10 Oktober 2021

Koneksi Antarmateri

A.    Sintesis Antarmateri

 

Sekolah merupakan tempat terjadinya interaksi antarwarga sekolah (unsur hidup) dan menjadikan unsur-unsur pendukung (unsur yang tidak hidup) sebagai bagian dari interaksi tersebut sehingga sekolah disebut sebagai sebuah ekosistem. Secara definisi eksosistem merupakan sebuah tata interaksi antara makhluk hidup dan unsur yang tidak hidup dalam sebuah lingkungan. Sebuah ekosistem mencirikan satu pola hubungan yang saling menunjang pada sebuah teritorial atau lingkungan tertentu.

Sekolah adalah sebuah ekosistem pendidikan yang melibatkan interaksi antara faktor biotik (unsur yang hidup) dan abiotik (unsur yang tidak hidup). Kedua unsur ini saling berinteraksi satu sama lainnya sehingga mampu menciptakan hubungan yang selaras dan harmonis. Dalam ekosistem sekolah, faktor-faktor biotik akan saling memengaruhi dan membutuhkan keterlibatan aktif satu sama lainnya. Faktor-faktor biotik yang ada dalam ekosistem sekolah di antaranya adalah murid, kepala sekolah, guru, staf/tenaga kependidikan, pengawas sekolah, orang tua, dan masyarakat sekitar sekolah. Selain faktor-faktor biotik yang sudah disebutkan, faktor-faktor abiotik yang juga berperan aktif dalam menunjang keberhasilan proses pembelajaran di antaranya adalah keuangan dan sarana dan prasarana.

Kedua unsur ini saling mempengaruhi satu sama lain sehingga jalannya komunitas menjadi harmonis dan seimbang yang tentunya akan berimplikasi pada jalannya proses pembelajaran yang baik pula. Untuk mencapai hal tersebut, keberhasilan sebuah proses pembelajaran sangat bergantung bagaimana unsur ekosistem membangun dan merangsang kreativitas ekosistemnya untuk menunjang keberhasilan tujuan pendidikan yang ingin dicapai sebagaimana yang telah tertuang dalam visi dan misi sekolah tersebut.

Dalam ekosistem sekolah faktor-faktor biotik ini akan saling mempengaruhi dan membutuhkan keterlibatan aktif satu sama lainnya. Ibarat siklus dalam rantai makanan, ia akan saling mempengaruhi dan membutuhkan satu sama lainnya sehingga terciptalah keselarasan dan keharmonisan yang diharapkan.

            Sekolah sebagai sebuah ekosistem pendidikan tentunya membutuhkan pengelolaan yang baik agar dapat berjalan sesuai dengan visi, misi, dan tujuan sekolah sesuai yang diharapkan. Dalam pengelolaan sumber daya sekolah, dikenal dua pendekatan. 1) Pendekatan berbasis kekurangan/masalah (Deficit-Based Thinking). Pendekatan ini memusatkan perhatian kita pada apa yang mengganggu, apa yang kurang, dan apa yang tidak bekerja.  Segala sesuatunya akan dilihat dengan cara pandang negatif.  Kita harus bisa mengatasi semua kekurangan atau yang menghalangi tercapainya kesuksesan yang ingin diraih.  Semakin lama, secara tidak sadar kita menjadi seseorang yang terbiasa untuk merasa tidak nyaman dan curiga yang ternyata dapat menjadikan kita tidak dapat melihat potensi dan peluang yang ada di sekitar kita. 2) Pendekatan  berbasis aset (Asset-Based Thinking) adalah sebuah konsep tentang cara praktis menemukan dan mengenali hal-hal yang positif dalam kehidupan, dengan menggunakan kekuatan sebagai tumpuan berpikir, memusatkan perhatian pada apa yang bekerja, yang menjadi inspirasi yang menjadi kekuatan ataupun potensi yang positif.

Sekaitan dengan pendekatan berbasis aset, Pendekatan Pengembangan Komunitas Berbasis Aset  berfokus pada potensi aset/sumber daya yang dimiliki oleh sebuah komunitas.  Selama ini, sekolah sebagai sebuah komunitas lebih sibuk pada strategi mencari pemecahan pada masalah yang sedang dihadapi. Pendekatan yang digunakan belum menggunakan pendekatan PKBA. Secara konsep, pendekatan ini merupakan pendekatan yang digerakkan oleh seluruh pihak yang ada di dalam sebuah komunitas atau disebut sebagai community-driven development.

Green dan Haines dalam Asset Building and Community Deevelopment memetakan tujuh modal atau aset utama dalam pendekatan berbasis aset. Ketujuh modal utama tersebut adalah: (1) Modal Manusia yang berupa potensi manusis yang memiliki sumberdaya dan potensi lebih(2) Modal Sosial berupa lingkungan masyarakat yang mendukung komunitas (3) Modal Fisik yang meliputi bangunan dan infrastruktur (sarana dan prasarana); (4) Modal Lingkungan/Alam yaitu potensi alam yang dimiliki; (5) Modal Finansial merupakan dukungan keuangan atau pembiayaan kegiatan komunitas; (6) Modal Politik berupa dukungan lembaga pemerintah dengan komunitas; dan (7) Modal Agama dan Budaya yang ada dilingkungan komunitas (sekolah).

Dalam kaitannya dengan sekolah sebagai sebuah komunitas atau ekosistem, pengelolaan tujuh modal tersebut akan mendukung tercapainya tujuan sekolah termasuk proses belajar yang lebih kondusif, nyaman, dan tentunya berpihak pada murid. Proses identifikasi dan pemetaan modal yang merupakan aset dan kekuatan sekolah dan  memanfaatkan modal yang ada sebagai kekuatan dalam upaya peningkatan kualitas pembelajaran dan kompetensi warga sekolah. Proses ini akan mengarahkan warga sekolah untuk berfokus pada aset atau kekuatan yang dimiliki dengan mengabaikan hal-hal yang menjadi kekurangan dalam upaya mewujudkan tercapainya tujuan sekolah.

Pengelolaan sumber daya atau aset sekolah akan berjalan dengan baik jika ditunjang dengan dukungan seluruh warga sekolah. Dalam pengelolaan aset kita telah mengenal paradigma inkuiri apresiatif yang juga berfokus pada pengelolaan berbasis aset dengan menerapkan BAGJA. BAGJA adalah langkah atau tahapan dalam pengelolaan sekolah dengan berbasis aset yang dimiliki. Tahapan ini akan berjalan dengan baik jika guru sebagai pemimpin pembelajaran menjalankan peran dan menerapkan nilai-nilai sebagai guru penggerak yang dimilikinya. Dengan ditunjang dengan kompetensi sosial dan emosional yang baik, pengelolaan aset sekolah yang melibatkan  faktor biotik dan abiotik akan berjalan lebih bersinergi dan harmonis.

Kondisi yang nyaman dilingkungan sekolah sangat menentukan terwujudnya budaya positif di sekolah. Pemanfaatan aset atau sumber daya yang dimiliki sekolah juga akan memudahkan terlaksananya pembelajaran yang berpusat pada kebutuhan murid. Pembelajaran yang dikenal dengan pembelajaran berdiferensiasi akan mudah terlaksana jika proses pembelajaran melibatkan segala potensi dan dan sumber daya yang dimiliki. Melalui pendekatan berbasis aset, guru sebagai pemimpin pembelajaran akan mampu melakukan pengambilan keputusan yang berpihak tidak hanya kepada sekolah tetapi juga kepada murid.

Materi pengelolaan aset, banyak ilmu dan pengetahuan baru yang saya peroleh. Tidak dapat dipungkiri, dalam pengelolaan sumber daya dilingkungan sekolah selama ini, pendekatan yang digunakan adalah Pendekatan berbasis kekurangan/masalah (Deficit-Based Thinking). Pendekatan ini memusatkan perhatian kita pada apa yang mengganggu, apa yang kurang, dan apa yang tidak bekerja.  Segala sesuatunya akan dilihat dengan cara pandang negatif. Tidak jarang kita mendengarkan keluhan-keluhan yang dilontarkan oleh guru sebagai bentuk evaluasi proses pembelajaran yang dilakukan. Akan tetapi hal tersebut justru menjadikan kita tidak menyadari betapa banyak kekuatan atau potensi yang dimiliki yang dapat dikelola dan dijadikan sebagai kekuatan.  Melalui modul ini, terbangun pemahaman pentingnya mengubah cara pandang kita dalam pengelolaan aset di sekolah. Memanfatkan segala potensi yang dimiliki dalam upaya memaksimalkan pencapaian tujuan pendidikan.

B. . Rancangan Tindakan Aksi Nyata

Latar Belakang

Media pembelajaran adalah alat yang dapat membantu proses belajar mengajar sehingga makna pesan yang disampaikan menjadi lebih jelas dan tujuan pendidikan atau pembelajaran dapat tercapai dengan efektif dan efisien. Media pembelajaran berfungsi sebagai salah satu sumber belajar bagi siswa untuk memperoleh pesan dan informasi yang berikan oleh guru sehingga materi pembelajaran dapat lebih meningkat dan membentuk pengetahuan bagi siswa. Oleh karena itu, diperlukan upaya meningkatkan motivasi murid dalam belajar.

Tujuan

Meningkatkan motivasi belajar siswa melalui penggunaan media digital (video pembelajaran) 

Tolok Ukur

  1. Termotivasi mengikuti pembelajaran dengan pemanfaatan media digital.
  2. Murid mudah mengakses media pembalajaran yang sesuai dengan kebutuhannya sehingga prestasi menjadi lebih meningkat.

        

Dukungan yang Dibutuhkan

  1.       Dukungan dari kepala sekolah
  2.       Wakil Urusan Sarpras
  3.       Guru Mapel




Sabtu, 18 September 2021

(3.1.a.9 Koneksi Antarmateri) Rangkuman Materi Pengambilan Keputusan sebagai Pemimpin Pembelajaran

 3.1.a.9 Koneksi Antarmateri - Pengambilan Keputusan

         Ki Hajar Dewantara yang merupakan nama lain dari Soewardi Soerjaningrat merupakan sosok yang tidak bisa kita lepaskan dari sejarah perjalanan panjang pendidikan Indonesia. Pada tahun 1922, KHD mendirikan Perguruan Nasional Tamansiswa yang merupakan cikal bakal lahirnya sistem pendidikan di Indonesia. Menurut KHD pendidikan bertujuan untuk menuntun segala kodrat yang ada pada anak agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Sekaitan hal tersebut, Ada tiga  semboyan yang dicetuskan oleh KHD yang dikenal sebagai Patrap Triloka  yang apabila kita maknai serta hayati bersama merupakan akar dan ujung tombak dari peran serta guru dalam menjalankan roda pendidikan nasional. Semboyannya yang dimaksud, yakni tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sung tulada (di depan memberi teladan).

          Dalam menjalankan peran sebagai pemimpin pembelajaran, keputusan yang diambil harus dilandasi semangat Patrap Triloka ini, sehingga keputusan yang diambil dapat berpihak pada murid. Patrap triloka ini menjadi acuan oleh seorang guru dalam bertindak dan mengambil keputusan. Dalam menjalankan peran sebagai guru, sebuah keputusan diambil didasari berbagai pertimbangan logis sehingga keputusan yang diambil tidak hanya tepat tetapi juga membawa manfaat bagi orang-orang yang terlibat dalam keputusan tersebut. 

          Dalam menjalan peran sebagai guru dalam pengambilan keputusan, terkadang kita diperhadapkan pada situasi dilema. Kondisi yang dihadapi dapat saja berupa dilema etika ataupun bujukan moral yang tidak jarang membuat seorang guru bingung dalam mengambil keputusan. Dalam kondisi tersebut, ada sembilan langkah dalam pengambilan keputusan sebagai upaya menghasilkan keputusan yang baik yang dapat dilakukan, mulai 1) mengenali nilai yang bertentangan, 2)menetukan siapa pihak yang terlibat, 3) mengumpulkan fakta-fakta yang relevan, 4) pengujian benar-salah, 5) pengujian paradigma benar lawan benar, 6) melakukan prinsip resolusi, 7) investigasi opsi trilema, 8) membuat keputusan, dan terakhir 9) meninjau ulang keputusan dan merefleksikannya. Tentunya keputusan yang diambil harus mencerminkan nilai keteladan yang sejalan dengan azas ing ngarsa sung tulada.

          Selanjutnya, Dalam menjalankan perannya, guru pun dapat membantu rekan sejawat atau murid dalam mengambil sebuah keputusan yang bertanggung jawab. Pengambilan keputusan dengan menggunakan model TIRTA yang merupakan penjabaran teknik coaching dapat dilakukan oleh seorang guru. Melalui Coaching seorang guru diharapkan dapat menerapkan prinsip ing madya mangun karsa dan tutwuri Handayani. Teknik Coaching dilakukan sebagai upaya menggali potensi yang dimiliki dan menggunakan potensi tersebut dalam memecahkan permasalahan dan membuat sebuah keputusan yang logis dan bertanggung jawab. 

          Ki Hadjar Dewantara menekankan bahwa tujuan pendidikan itu ‘menuntun’ tumbuhnya atau hidupnya kekuatan kodrat anak sehingga dapat memperbaiki lakunya. oleh sebab itu, peran seorang coach (pendidik) adalah menuntun segala kekuatan kodrat (potensi) agar mencapai keselamatan dan kebahagiaan sebagai manusia maupun anggota masyarakat. Dalam proses coaching, murid diberi kebebasan namun pendidik sebagai ‘pamong’ dalam memberi tuntunan dan arahan agar murid tidak kehilangan arah dan membahayakan dirinya. Dengan menerapkan azas tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), seorang ‘pamong’ dapat memberikan ‘tuntunan’ melalui pertanyaan-pertanyaan reflektif agar kekuatan kodrat anak terpancar dari dirinya. Anak murid menjadi merdeka dalam belajar dan menetukan arah dan tujuan yang ingin dicapai sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimilikinya.

Sebagai seorang guru, tentunya tidak sedikit tantangan dan kendala yang dihadapi baik dalam upaya menjalankan perannya sebagai seorang pendidik maupun keberadaannya sebagai mahluk sosial. Tidak sedikit guru menghadapi kasus dilema baik dalam bentuk dilema etika maupun dalam bentuk bujukan moral. Oleh karena itu, seorang pendidik harus tampil dengan menunjukkan keteladan dalam mengambil setiap keputusan. Nilai ing ngarso sungtulodo harus tercermin dari setiap keputusan yang diambilnya. Dengan menerapkan 9 langkah pengambilan keputusan yang didasari  pertimbangan yang matang serta didukung oleh fakta-fakta., keputusan yang diambil akan tepat, dengan begitu akan berdampak pada terciptanya lingkungan yang positif, kondusif, aman, dan nyaman.

Meskipun tidak dapat dipungkiri, terkadang masih menghadapi kesulitan-kesulitan untuk menjalankan pengambilan keputusan terhadap kasus-kasus dilema etika di lingkungan sekolah. Beberapa penyebab munculnya kesulitan dalam pengambilan keputusan dalam kasus dilema etika adalah budaya dan cara pandang pihak-pihak yang terlibat dalam kasus yang dihadapi.  Adanya kekhawatiran keputusan yang diambil akan berdampak buruk bagi diri sendiri dan orang lain, serta keterbatasan wewenang yang dimiliki jika berkaitan dengan keputusan yang berhubungan dengan aturan-aturan sekolah.

Secara umum ada pola, model, atau paradigma yang terjadi pada situasi dilema etika yang sering dihadapi, yakni 1) Individu lawan masyarakat (individual vs community) 2) Rasa keadilan lawan rasa kasihan (justice vs mercy) 3) Kebenaran lawan kesetiaan (truth vs loyalty) 4) Jangka pendek lawan jangka panjang (short term vs long term). Selanjutnya, prinsip penyelesaian dilema secara umum terbagi tiga, yakni Berpikir Berbasis Hasil Akhir (Ends-Based Thinking) Berpikir Berbasis Peraturan (Rule-Based Thinking) Berpikir Berbasis Rasa Peduli (Care-Based Thinking). Tentunya melalui penentuan resolusi yang tepat akan berdapak baik tidak hanya lingkungan sekolah tetapi juga akan berdampak pada murid. Keputusan yang bertujuan mengantarkan anak mencapai kemerdeakaan dalam belajar, menuntun hidup dan lakunya, dan mengantarkannya mencapai kebahagiaan yang setinggi-tingginya tentu akan menjadi titik acuan murid dalam menggapai kesuksesannya di masa yang akan datang.

          Pengambilan keputusan adalah proses atau langkah yang dilakukan untuk menentukan solusi yang tepat atas situasi dilema. Baik dalam bentuk dilema etika maupun bujukan moral. Pengambilan keputusan yang dilakukan oleh seorang guru tentunya harus dilandasi beberapa pertimbangan yang dijabarkan dalam 9 langkah pengambilan keputusan. Proses pengambilan keputusan yang dilakukan guru sebagai pemimpin pembelajaran tentunya tidak lepas dari peran, nilai, dan harus didukung dengan kompetensi sosial dan emosional yang baik pula. Dengan demikian, pengambilan keputusan yang dilandasi nilai-nilai tersebut,  diharapkan keputusan yang diambil akan membawa perubahan nyata, sesuai kebutuhan murid sehingga dapat mewujudkan lahirnya Profil Pelajar Pancasila.

Sabtu, 31 Juli 2021

PGP-Angk2- Kab. Jeneponto – Iskandar -1.4 - Rancangan Aksi Nyata.

 Rancangan Aksi Nyata.

Membangun Budaya Positif melalui Kesepakatan Kelas

A.  Latar Belakang

            Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara, tidak bisa kita lepaskan dari perjalanan panjang pendidikan Indonesia. Ki Hajar Dewantara merupakan pioner dan pelopor terbentuknya sistem pendidikan di Indonesia. Menurut KHD pendidikan bertujuan untuk menuntun segala kodrat yang ada pada anak agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Untuk mencapai hal tersebut peran guru menjadi hal yang sangat mendasar dan menentukan. Sebagai bentuk penjabaran dari cita-cita dan tujuan pendidikan, dibutuhkan peran guru dengan nilai sebagai penyokong lahirnya guru yang terampil. Yang mampu menjalankan peran dan menguasai nilai-nilai sebagai acuan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang guru.

Semangat merdeka belajar yang dicanangkan sebagai upaya memperkuat tujuan pendidikan tentunya akan tercapai dengan baik jika roda pendidikan dijalankan oleh guru sesuai dengan peran dan nilai yang diharapkan. Dari proses yang demikianlah diharapkan akan lahir generasi kita yang memiliki prinsip dan nilai yang sesuai dengan nilai-nilai pancasila.

Sebagai upaya membangun pendidikan, tentunya harus menjadi tugas dan tanggung jawab bersama. Membangun pendidikan untuk mencapai tujuan yang diharapkan tidak bisa jika hanya dilakukan sendiri-sendiri. Dibutuhkan peran dan dukungan semua pihak dan lebih terkhusus lagi seluruh warga sekolah. Oleh karena itu pelibatan seluruh warga sekolah dalam upaya melakukan perubahan menjadi hal yang harus dilakukan. Peran guru penggerak diharapan dapat menjadi penentu keberhasilan terciptanya suasana nyaman dan terbangunnya kolaborasi antarwarga sekolah.

PGP-Angk2-Kabupaten Jeneponto – Iskandar -1.4- Membangun Budaya Positif melalui Kesepakatan Kelas (Aksi Nyata)

PGP-Angk2-Kabupaten Jeneponto – Iskandar -1.4-Aksi Nyata

1.  Latar Belakang

 

Membangun budaya positif di lingkungan sekolah menjadi tanggung jawab seluruh warga sekolah sebagai upaya membentuk karakter murid menuju profil pelajar pancasila. Profil yang dimaksud, yakni 1) Beriman, bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berakhlak mulia; 2) Mandiri; 3) Bergotong-royong; 4) Berkebinekaan global; 5) Bernalar kritis; 6) Kreatif. Kesemua karakter ini perlu dibangun dan tentunya dimulai dari lingkungan kelas dan sekolah.

     Membangun budaya positif perlu dimulai dari hal-hal sederhana, mampu dijalankan secara konsisten, dan manfaatnya dapat dirasakan oleh murid. Salah satu langkah konkret dalam upaya membangun budaya positif di sekolah adalah dengan menyusun kesepakatan kelas bersama dengan murid sebagai bagian dari upaya membangun ahlak mulia, mandiri, dan kreatif. Melalui kesepakatan kelas diharapkan tumbuhnya budaya positif dari murid. Kesepakatan kelas yang disusun melalui pelibatan dan berdasar pada kebutuhan murid. Dengan demikian budaya positif tersebut dapat terbangun atas inisiatif dan kesadaran dari dalam diri murid itu sendiri.

     Berdasarkan hal tersebut, sebagai salah seorang calon guru penggerak, saya akan mengupayakan lahirnya budaya positif yang dimulai dari kelas-kelas yang saya ajar dengan membuat kesepakatan kelas. Kesepakatan kelas diperlukan dengan melihat beberapa kondisi di lapangan seperti rendahnya disiplin peserta didik setelah aktivitas mereka lebih banyak dirumah selama pandemi covid-19, kurangnya aktivitas sebagai bentuk penanaman budaya positif seperti memulai aktivitas dengan berdoa, saling menghargai antara siswa yang satu dengan yang lain saat menyampaikan ide dan pendapat saat proses belajar, serta kecenderungan penilaian siswa terhadap aktivitas belajar kelompok dianggap bukan proses belajar formal yang perlu diikuti dengan aturan dan tata krama, seperti berbicara semaunya, keluar masuk ruangan, dan memulai dan mengakhiri pembelajaran tanpa berdoa. Oleh karena itu, dibutuhkan satu langkah konkret dalam upaya membangun budaya positif dalam belajar meskipun dalam bentuk kelompok belajar.

 

2. Deskripsi Aksi Nyata yang Dilakukan.

Setelah melalui tahap perencanaan, selanjutnya adalah tahap pelaksanaan aksi nyata.

Berikut tahapan pelaksanaan penyusunan aksi nyata dalam bentuk kesepakatan kelas:

  1. Melakukan komunikasi dan izin dari kepala sekolah tentang rencana pelaksanaan aksi nyata dalam bentuk kesepakatan kelas. Hal ini dilakukan sebagai sosialisasi awal pada penanggung jawab tertinggi di satuan pendidikan.
  2. Dari hasil diskusi dengn kepala sekolah, Kepala sekolah menyambut baik rencana membangun budaya positif melalui kesepakatan kelas. Selanjutnya, kepala sekolah meminta hal tersebut disosialisasikan dengan rekan guru mengenai bentuk pelaksanaan kesepakatan kelas dan mengharapkan guru-guru lain juga melakukan hal yang sama. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa budaya positif akan lebih mudah dijalankan dan berhasil jika ada kesepahaman dan dilakukan secara bersama-sama oleh seluruh warga sekolah. 
  3. Setelah sosialisasi dengan rekan guru, Selanjutnya, menjadwalkan penyusunan kesepakatan kelas dengan murid pada pertemuan awal di kelompok belajar di tahun ajaran 2021 – 2022. Kelompok belajar dibentuk sebagai langkah alternatif menekan penyebaran Covid-19 dan keterbatasan murid jika pembelajaran dilakukan secara daring (online). Kesepakatan kelas disusun dengan siswa pada tanggal 14 Agustus 2021 di kelas IX.1 dan pada tanggal 15 dikelas IX.2

Berikut hasil kesepakatan kelas yang telah disusun bersama:

1.      Murid hadir tepat waktu sebelum memulai pembelajaran kelompok (budaya disiplin)

2.     Memberi salam sebelum masuk kelas. (Ahlak Mulia)

3.   Berdoa sebelum memulai pembelajaran yang dipimpin secara bergantian. (Ketakwaan kepada Tuhan YME)

4.    Jika terlambat, melapor ke guru piket/jaga sebelum masuk kelas dengan menyampaikan alasan keterlambatan. (mandiri dan tanggung jawab)

5.     Mengangkat tangan untuk meminta izin berbicara dan memulai setelah diizinkan.

6.     Meminta izin sebelum jika ingin meninggalkan ruang belajar.(Ahlak Mulia)

7.  Berdoa seblum menutup pembelajaran. (Ketakwaan kepada Tuhan YME dan Ahlak Mulia)

 

3. Hasil dari Aksi Nyata yang Dilakukan.

Hasil aksi nyata yang telah dilakukan sebagai upaya menumbuhkan budaya positif di sekolah melalui kesepakatan kelas berjalan sesuai yang diharapkan. Kesepakatan kelas disusun pada beberapa kelompok belajar.  Berikut deskripsi aksi nyata setelah menyusun kesepakatan kelas dan telah berjalan beberapa pekan:

  1. Murid mulai menunjukkan perubahan pada kedisiplinan dengan hadir tepat waktu pada kelompok belajarnya meskipun belum keseluruhan menunjukkan perubahan positif tersebut.
  2. Kecenderungan murid mulai menyadari perlunya meminta izin sebelum berbicara, ditandai dengan mulainya murid saling menegur jika ada yang murid yang berbicara tanpa mengangkat tangan dan dipersilakan.
  3. Berdoa diakhir pembelajaran menyebabkan murid lebih tertib meninggalkan ruang kelas.
  4. Tingkat partisipasi peserta didik dalam belajar kelompok semakin meningkat dan obrolan antarsiswa di dalam kelas lebih terarah dan tertib.
  5. Beberapa rekan guru mulai menyusun kesepakatan kelas pada kelompok belajar yang diampunya.
  6. Wali kelas dan guru sangat mendukung tumbuhnya budaya positif di sekolah melalui kesepakatan kelas.

4. Pembelajaran yang Didapat dari Pelaksanaan 


    Secara umum, menumbuhkan budaya positif di sekolah melalui kesepakatan kelas berjalan dengan baik ditandai dengan beberapa keberhasilan, seperti disiplin siswa yang semakin meningkat yang ditandai hadirnya mereka dalam kelompok belajar tepat waktu. Pembelajaran menjadi lebih tertib dan murid lebih mampu menghargai temannya yang lain ketika berbicara atau mengungkapkan pendapat.

     Selain keberhasilan tersebut, beberapa hal yang perlu ditingkatkan karena belum sesuai dengan rencana adalah budaya positif dalam bentuk kesepakatan kelas belum seluruhnya dilakukan oleh murid. Masih ada yang siswa yang tidak berani menghadap ke guru piket saat terlambat dan memilih masuk kelas secara sembunyi-sembunyi. Masih ada siswa yang bertindak tidak sesuai dengan kesepakatan kelas, terkhusus siswa yang tidak hadir saat penyusunan kesepakatan kelas. Masih ada beberapa guru yang belum menyusun kesepakatan kelas dengan kelompok belajar yang diampunya serta dukungan orang tua dalam meningkatkan partisipasi belajar dan kedisiplinan murid masih rendah.

 

 

5.   Rencana perbaikan untuk pelaksanaan di masa mendatang.

Berdasarkan pembelajaran  yang diperoleh dari proses pelaksanaan aksi nyata yang belum sesuai perencanaan, beberapa langkah perbaikan akan dilakukan ke depannya, antara lain: 

  1. Memaksimalkan sosialisasi pentingnya membuat kesepakatan kelas kepada guru-guru, terkhusus yang belum menyusun kesepakatan kelas.
  2.    Membahas ulang kesepakatan kelas di sela waktu belajar agar murid yang tidak hadir pada penyusunan lebih memahami kesepakatan kelas yang telah disusun.
  3. Membangun rasa tanggung jawab pada murid yang masih lalai dengan kesepakatan kelas melalui pendekatan personal.
  4. Melakukan pertemuan dengan orang tua/wali murid dalam upaya membangun kesepahaman perlunya pendampingan dan dukungan kepada murid dalam meningkatkan partisipasi belajar dalam bentuk kelompok belajar khususnya saat pandemi covid-19.
  5. Pertemuan dengan orang tua murid akan dilaksanakan pada tanggal 02 Agustus 2021.
6.      Dokumentasi Proses dan Hasil Pelaksanaan

Foto 1 Berdiskusi dengan kepala sekolah tentang budaya positif


Foto Sosialisasi Budaya Positif dalam Bentuk Kesepakan Kelas

Foto Penyusunan Kesepakatan Kelas dengan murid


Pendidikan